Masih terngiang di kepala, kejadian dua malam yang lalu. Sekitar jam 10an, sehabis pulang kerja. Waktu saya makan di dapur, tiba-tiba terdengar banyak orang teriak dari luar rumah: “woy… jangan kabur lu… bakar… hajar…” Namun sayup-sayup penuh kengerian dan rasa memelas ada seorang berteriak: “ampun pak… ampun… jangan… jangan dibakar…”
Sontak saja saya lari keluar rumah dan melihat seorang bapak yang sudah di usia nya yang cukup senja sedang dipukuli dan hampir dihabisi oleh massa yang mengejarnya. Untung saja kejadiannya dekat sekali dengan rumah RT saya, dan kebetulannya lagi dia seorang anggota pengamanan presiden atau dari kalangan militer. Jadi setidaknya ada yang pasang badan untuk melindungi dia dan meredakan massa yang mengamuk agar tidak anarkhis.
Jujur saja, sepertinya memang pak RT ini agak sedikit berlebihan dalam bicara, tapi saat malam itu buat saya membuka mata bahwa kita tidak boleh menilai seseorang dari satu kejadian saja, tapi tindakannya secara keseluruhan. Dan menurut saya, malam itu pak RT saya adalah seorang ksatria penyelamat, seorang malaikat pelindung untuk si Bapak. Rasa salut dan penghargaan setinggi-tingginya dari saya untuk Pak RT.
Menilik dari apa yang mereka ceritakan yah memang si korban ini sebelumnya menabrak beberapa motor yang diparkir di pinggir jalan, lalu mungkin karena dia dalam keadaan ketakutan karena banyak massa di sekitar yang siap menghakimi, lantas dia melarikan diri dan masuk ke dalam kompleks rumah saya. Tapi memang malang tidak bisa dihindari, si bapak ini tetap tertangkap dan sempat dipukuli di pinggiran got dekat rumah saya.
Rasa iba yang amat sangat ini masih ada ketika melihat si bapak korban yang ketakutan, wajahnya pucat, menangis, badannya gemetar kala maut hanya sejengkal dari padanya. Apakah tidak cukup ungkapan “ampun” yang diteriakan oleh si Bapak?
Meski begitu, sampai sekarang, saya sangat benci melihat orang-orang yang melakukan hal-hal anarkhis macam itu. Saya yakin dari sekitar sepuluh orang yang datang memukuli, paling hanya 3-5 orang yang secara materi dirugikan karena peristiwa tabrak lari itu. Terbukti hanya ada tiga motor yang hancur. Sedangkan yang lainnya saat ditanyakan oleh pak RT saya hanyalah orang yang sekedar “ikut-ikutan”. Ironis sekali sepertinya kalau mendengar kata “ikut-ikutan” memukuli orang yang notabene tidak pernah merugikan dia secara langsung. Ini tren sikap yang benar-benar tidak bisa diterima, kampungan, tidak bermoral, dan menunjukkan kalau sepantasnya identitas agama yang tertera di KTP tidak perlu diisi.
Seharusnya mereka melihat, bahwa si Bapak ini juga seorang manusia. Dan manusia pasti berbuat salah. Kalau yang salah langsung dihakimi, apa bedanya dengan semua orang di dunia. Apakah kita hanya hidup untuk saling menghakimi? Kalau memang kalian yang memukuli si korban adalah orang-orang yang paling benar, suci, dan tidak pernah berbuat salah, maka saya akan membiarkan Anda melakukan itu. Saya tidak lebih baik dari kalian, begitupun kalian terhadap saya. Sepatutnya kita lebih bercermin dalam menegakkan keadilan. Semua bisa dibicarakan dan bila memang terbukti bersalah, ada instansi berwajib yang memiliki otorisasi untuk memproses lebih lanjut ke ranah hukum. Bila ini dipertahankan, berarti tidak perlu lagi ada Fakultas Hukum, tidak perlu lagi hakim atau pengacara, tidak perlu lagi polisi, karena semua aturan sudah dibuat di “lapangan” atas dasar emosi dan nafsu kebinatangan belaka. Oh, sepertinya lebih buruk dari binatang.
Semoga kita semua bisa berkaca dari peristiwa ini. Saya pribadi bersyukur tidak ada korban jiwa yang sia-sia. Namun saya hanya berharap agar kita masing-masing melihat ke dalam diri kita, apakah kita sudah sepenuhnya pantas jadi seorang “hakim”.
Semoga Tuhan:
• Melindungi si Bapak korban dari incaran para pelaku
• Membuat si Bapak korban jauh lebih bersyukur dan berhati-hati dari sebelumnya
• Memberikan berkah untuk pak RT yang menjadi malaikat pelindung malam itu
• Mengampuni massa yang mendadak jadi “hakim” malam itu, dan
• Memaafkan kita semua yang selalu merasa benar dan tidak pernah mengaku salah