Entah kesekian kalinya
semua usaha itu dilakukan. Tampaknya memang kepala papa jauh lebih keras dari
sekedar karang. Entah apa yang membentuknya hingga jadi seperti ini. Keadaan
kah? Lingkungan kah? Atau ego-nya yang sudah sangat tidak terkendali? Apa pun
itu, boleh dibilang aku sudah menyerah. Sebetulnya, memang tidak sulit mencari
semua alasan yang menyebabkan dia seperti itu.
Ego
Yah sudah tidak
diragukan lagi. Ego-nya tinggi sekali. Mudah gengsi, menganggap orang lain
buruk, jarang sekali menghargai orang lain, dan tidak jarang suka iri akan
keberhasilan orang lain.
Berpikiran sempit dan
pendengar yang buruk
Pemikirannya boleh
dibilang kolot, sempit, dan selalu berpikiran negatif. Menganggap semua
kritikan dan masukan yang datang padanya sebagai ancaman dan sikap kurang
menghargai. Jadi mudah tersinggung dan tidak pernah menerima masukan dari orang
lain.
Sok tau
Ini yang cukup parah.
Seakan dia seperti “tau segalanya.” Sepertinya sudah tidak perlu digambarkan
lebih lanjut. Saya rasa semua orang cukup tau bagaimana dan seperti apa seseorang
yang merasa “tau segalanya.”
Kesuksesan dini
Beliau tergolong
pemuda sukses di penghujung umur 20-an. Bisa membuka usaha yang cukup berhasil,
memiliki anak buah, dan kecukupan financial di usia muda, adalah impian
siapapun yang ingin masa depannya terjamin. Namun, dibalik itu semua, kita
perlu tetap menjejak bumi. Nah, ini yang tidak dilakukan papa. Lebih lagi,
beliau kurang bisa mengatasi pujian yang datang.
Terlalu disayang orang
tua
Yah boleh dibilang dia
salah satu anak emas nenekku. Tidak heran kalau semua saudara kandungnya tidak
senang dengannya. Sebaliknya, karena semua bersikap seperti itu padanya, papa
semakin menjadi-jadi. Tidak ada rasa hormat sama sekali terhadap keluarganya. Sadar
atau tidak, dia membangun tembok yang cukup tinggi untuk membatasi dirinya
dengan keluarganya.
Maaf sekali, Pa!!! Aku
sama sekali gak bermaksud bikin semua orang tau seperti apa Papa sebenarnya. Ini sekedar curahan hatiku yang merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan
untuk merubah sikap Papa yang seperti itu. Aku gak menyerah mengarahkan Papa
supaya bisa jauh lebih merendahkan hati dan menghormati orang lain, dan
terlebih…. menghormati diri sendiri. Hanya saja… saat ini aku biarkan Papa
menemukan apa yang salah. Aku hanya bisa membantu sedikit. Takkan ada lagi
konfrontasi dariku, Pa. Kecuali Papa sudah kelewatan.
Maafkan aku, Pa…
Maafkan aku, Tuhan… Semoga Tuhan mengampuniku. Aku hanya berharap semua
berakhir baik.
Your son… who always
love you,
Steven Delano
No comments:
Post a Comment