Pernah denger cerita mengenai seorang ayah yang mengajarkan anaknya apabila ia sedang kesal atau marah, ia disuruh memaku sebatang kayu??? Cerita ini familiar sekali di dunia per-milis-an. Kisah ini mengingatkan saya manakala sifat temperamen yang saya miliki ini akhirnya menjadi "lubang" di kayu itu untuk orang-orang yang saya sayangi.
PAPA: Saya pernah membuat Papa, mungkin menangis, yang pasti dia sedih mendengar saya melawan semua perkataannya dengan cara yang temperamen dan tidak menghormati sama sekali. Saya agak lupa kapan, yang pasti ini terjadi beberapa kali, dan saya yakin dia sangat kecewa melihat putera sulungnya merasa sudah bisa lebih pintar, lebih bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, dan hampir selalu tidak mendengar pendapatnya lagi.
- Saya menyesal sudah menancapkan "paku" ke Papa
MAMA: Sama dengan halnya sifatku ke Papa, aku juga cenderung temperamen menghadapi setiap orang. Walau memang aku pasti sedikit lebih lembut terhadap Mama. Hanya saja, aku sering terlalu menceramahi, mengatur, dan tidak menghormati dia, yang bersusah payah mengandung dan melahirkanku dengan normal 26 tahun yang lalu. Pernah memang aku terlalu keras dan membuat hatinya (mungkin) merasa bahwa anaknya sudah sulit untuk diberitahu lagi.
- Saya menyesal sudah menancapkan "paku" ke Mama
RIO: Perilaku sebagai seorang kakak yang sangat umum adalah, bahwa dia selalu merasa superior dibandingkan adik-adiknya. Pernah suatu kala, di saat kami masih sekolah dulu, saya merasa kesal dan amat marah terhadap dia. Hingga akhirnya saya bertindak di luar batas. Saya menendang tas dia, di mana di dalamnya terdapat kotak bekal makanan dia. Apa yang terjadi? Kotak bekal itu pecah. Dia memang tidak menangis, tapi sedikit kecewa dan menyayangkan perbuatanku. Sampai sekarang pun saya masih ingat ekspresi wajahnya yang cenderung kecewa tapi merelakan yang sudah terjadi. Sayapun saat itu merasa balik terpukul oleh situasi. Sungguh memalukan perbuatan bodoh itu. Bahkan Rio saja bisa lebih "legawa."
- Saya menyesal sudah menancapkan "paku" ke Rio
LIA: Saya tahu, di antara keluarga saya, memang saya tergolong salah satu yang cukup pandai, begitu juga Rio. Memang Lia agak sedikit lemah dibandingkan kami berdua dalam hal pelajaran. Dia pun hanya masuk jurusan IPS saat SMA. Suatu saat, kami sedang berdiskusi masalah sekolah, pelajaran dan lain-lainnya. Dan sedikit mengomentari beberapa hal mengenai cara berpikir dan daya tangkap Lia. Sekali lagi, sifat saya yang temperamen dan terkesan menyamaratakan kemampuan orang dengan kemampuan yang saya miliki, memakan korban lagi. Ditambah dengan kata-kata yang kasar dan merendahkan, saya membuat Lia menangis dan akhirnya merasa "down" karena tidak bisa menerima kata-kata saya. Akhirnya dia menangis dan tentu saja saya yakin sekali, dia merasa tersakiti karena dia dianggap "tidak bisa." Saya baru menyadari itu beberapa saat setelahnya. Sungguh perbuatan bodoh dan sombong. Saya seharusnya mendukung dan membesarkan hati dia.
- Saya menyesal sudah menancapkan "paku" ke Lia
Entah berapa banyak paku yang sudah saya tancapkan ke orang-orang yang saya sayangi. Tapi saya menangis saat melihat papan kayu itu penuh dengan lubang hasil "pekerjaan" saya. Seringkali saya berpikir, kalau saya tidak akan ada di sini, berdiri tegak tanpa keberadaan dan peran mereka.
Saya sadar, saya tidak akan bisa sekolah setinggi ini tanpa perjuangan yang tak kenal lelah dari Papa dan Mama. Saya sadar tidak ada motivasi lain yang lebih besar selain menyekolahkan adik-adik saya ke jenjang yang tinggi, bahkan kalau bisa jauh lebih tinggi dan lebih baik dari saya.
Semoga sedikit penebusan ini bisa menutupi, paling tidak, bisa sedikit menyamarkan "luka" yang sudah saya buat kepada kalian. Selebihnya, saya sedang berusaha. Biar pada saatnya tiba nanti, ini akan jadi hadiah terhebat untuk kalian... Doakan!!!
No comments:
Post a Comment