Saturday, October 15, 2011

Saat "Batu" Beradu "Batu"

Semalam saya pulang agak larut untuk makan malam dengan teman-teman untuk merayakan ultah Chichi. Sesampainya di rumah, saya mendapati kedua adik saya menangis. Ternyata sebelumnya ada perdebatan hebat antara Papa dan Rio. Dan Lia ikut menangis untuk memisahkan mereka berdua. Mama saya pun terdiam tidak bisa berbuat apa-apa.

Yah memang seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya. Bom itu akan meledak suatu saat. Ini hanya masalah waktu. Rio sudah kesal dengan tabiat Papa yang memang sudah tidak bisa diberikan saran secara baik-baik. Seakan dia adalah orang paling benar dan paling tahu sedunia. Yah saya akui itu sifat terjelek Papa, dan bukan hanya Rio yang capek, kami semua pun begitu. Jadilah semalam terjadi perdebatan hebat hingga Rio merasa putus asa bagaimana cara untuk memberitahu sesuatu dengan baik-baik. Bahkan saya diberitahu oleh Mama kalau Rio tidak tahan dengan Papa sampai membentur-benturkan kepalanya ke tembok saking kesalnya.

Well... ini moment yang cukup berat buat kami sebagai keluarga. Dulu sekitar 3 tahun lalu, saya pernah merasakan hal yang sama seperti yang Rio rasakan. Karena itu, saya memutuskan untuk kos dan memisahkan diri dari keluarga saya untuk menghindari friksi seperti ini. Dan kalau boleh dilihat, saya ini jauh lebih tempramental dari Rio ataupun Lia. Makanya saya menjauhkan diri saya untuk kebaikan keluarga.

Berat memang melalui masa seperti ini. Namun, saya sudah cukup menghadapi hal-hal seperti ini. Saya mengambil sisi positif dari masalah demi masalah yang terjadi. Dengan adanya hal-hal seperti ini saya berharap kami sekeluarga mau lebih "mendengar" satu sama lain. Moment ini akan kumanfaatkan untuk berbicara dengan Papa. Entah bagaimana, saya adalah orang yang masih bisa didengar olehnya, walaupun tetap sulit. Tapi itu terlihat dari sikapnya yang kurang bisa melawan setiap argumen yang saya berikan. Dan terkadang adik2ku atau Mama meminta tolong padaku untuk bicara dengan Papa, karena kemungkinan untuk didengar setidaknya lebih besar.

Lesson Learned

Buat saya ini adalah pelajaran yang baik untuk Rio, Lia, Mama, dan Papa sekalipun. Saya juga belajar, kok. Credit buat Rio yang mau kritis dan cukup berani untuk mengutarakan uneg2nya. Emosional memang, tapi bukan berarti "Boys Don't Cry." Malahan menurut saya bagus, bila kita terkadang menangis dan meluapkan emosi. Asal tidak berlebihan. Untuk mama, supaya mama bisa lebih tegas bersikap, dan mempertebal mentalnya. Untuk Lia dengan sikapnya, saya rasa bisa melumerkan kekerasan hati Papa. Untuk Papa, semoga kau tergerak dan sadar kalau "Orang yang merasa paling tahu segalanya, sebetulnya tidak tahu apa-apa."

Dan tentunya, di saat seperti ini, jalan keluarnya hanya satu.... Berdoalah... Hanya Dia yang tahu mana yang benar dan salah. Hanya Dia yang tahu jawaban atas segala masalah.

Semalam saat adikku tertidur, aku melanjutkan doa Rosario ku untuk hari ke-2 pada bulan ini. Sebelumnya kuberikan sedikit wejangan pada mereka:
"The shortest distance between problem and its solutions is the distance between your knees and the floor. The one who kneels to the Lord can stand up to anything."
I'm proud of you guys... this is part of maturity process. We (all) learn...