Friday, April 20, 2018

Haruskah Begitu?

Seminggu terakhir, cukup melelahkan untuk gue dan istri. Jam kerja cukup padat dan kebetulan kita banyak beraktivitas di Jakarta yang sebetulnya memaksa kondisi fisik kita untuk kerja lebih berat. Tiap hari bangun jam 4.30. Walaupun tidur dari jam 11 malam, tapi kadang terbangun karena si kecil masih menyusui dan perlu diganti popoknya. Kebayang kan kalau kita tidur bisa 4-5 jam saja tapi gak nonstop, mesti paling tidak kebangun 1-2x. Istriku paling tidak 2x mesti bangun untuk perah ASI. Yah begitulah lelahnya, sehingga dalam beberapa hari terakhir kepalaku sering melayang seperti vertigo, kalau berdiri seperti terasa lagi gempa atau berputar.

Hari ini, sebetulnya aku benar-benar ingin menikmati hari Jumat dan kumulai dengan makan malam ulang tahun dengan istriku. Semua berjalan sempurna, sampai baru saja istriku masuk kamar dan memintaku (dengan nada tidak sabar) untuk membereskan baju, kemeja, dan dasi yang ada di dalam kantong plastik. "Besok saja ya", kataku. Tapi lantas dibalasnya ketus dan kasar "Besok mana ada waktu lagi.. you suka nunda kerjaan." Lalu dengan bersungut ku ambil kantongnya dan kubereskan di luar. Entah kenapa dia seperti tersulut dan marah-marah "yauda kalo ga mao beresin gausa pake marah-marah. Emangnya gak cape ya.. I juga banyak kerjaan dan lebih banyak malah. Kalo ga suka gausa pake marah-marah." Sambil membanting-banting dasi yang awalnya direbut olehnya.

Jujur ya... ini agak irrational menurutku. Sakit memang hati ini. Tapi aku cuma coba sabar. Karena ga mungkin kerasnya batu dilawan batu juga, bisa hancur semuanya. Mungkin baiknya ku diam dulu sementara waktu. Demi pernikahan ini.

Beberapa hal:
1. Menunda membereskan baju sampe besok pagi gak akan berdampak luar biasa kok. CUMA baju!!! CUMA baju!!!
2. Banting sana banting sini sebetulnya itu malah sifat alami dia yang menurutku sering dilakukan dan sudah sering kuperingatkan berkali-kali, terlebih bila anak kami sedang tidur dan dia seringkali buka pintu atau meletakkan barang dengan kurang lembut.
3. Bertengkar di depan anak.. semoga gak terjadi lagi di kemudian hari.
4. Ga jelas apa dia masih hormat atau masih sayang apa nggak. Sepertinya semakin keras dan kasar kalau bicara. Dalihnya karena orang Sumatra jadi boleh ngomong teriak-teriak. Aku pun ada darah Sumatra tapi setidaknya lebih bisa menjaga dan melihat situasi.

Yang paling ga masuk akal dan menyakitkan itu yang nomor 1: karena itu CUMA baju!!! Kalau karena gara-gara baju bisa berantem dan bikin rusak hubungan, apalah artinya semua ini. Jujur saja sempat kuberpikir untuk pergi. Tapi...... sudahlah, ga akan menyelesaikan masalah.

Ga ada yang bisa kulakukan kecuali berdoa dan memohon kesabaran dari Tuhan dan Bunda Maria. Semoga ini hanya sedikit riak dalam rumah tangga. Aku pun berbalik melihat anakku yang sedang tidur. Sambil kutatap wajahnya ku berpikir, kasihan sekali anak sekecil ini menjadi korban ego orang tuanya. Aku terisak menahan jatuhnya air mata ini. "Sabar... Berpeganglah pada Tuhan!! Semua kan baik-baik saja" bisikku dalam hati menenangkan gejolak amarah dan kecewa ini.

Baiknya ku tidur saja.. semoga besok hati lebih tenang, kepala lebih dingin.